BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sebagai
etnik terbesar, Jawa memiliki falsafah. Falsafah-falsafah tersebut terbesar dalam
berbagai kehidupan. Diantara falsafah-falsafah, falsafah kepemimpinan adalah
falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Dan
memang orang Jawa memiliki kemampuan dalam olah kata atau filsafat.
Dalam
buku yang ditulis Ki Nardjoko Soeseno yang berjudul “Falsafah Jawa Soeharto dan
Jokowi” kita dapat mengetahui dan memahami setiap makna falsafah Jawa maka
terlihat jelas bahwa orang Jawa memiliki kemampuan budaya yang sangat tinggi. Soeharto
dan Jokowi yang dikenal sebagai pemimpin kharismatis, tak lepas menggunakan
falsafah Jawa didalam kepemimpinan mereka.
Kita
sebagai mahasiswa penerus bangsa dan mungkin penerus dalam mempimpin negara
Indoesia, kita dapat mecontoh falsafah-falsafah Jawa terutama falsafah
kepemimpinan yang digunakan dalam masa kepemimpinan Soeharto dan Jokowi.
1.2.
Tujuan
Masalah
Ø
Mengetahui
Kepemimpinan Soeharto dan Jokowi
Ø
Mengetahui
Falsafah Kepemimpinan Soeharto
Ø
Mengetahui
Falsafah Kepemimpinan Jokowi
Ø
Memahami
Falsafah Hidup Orang Jawa
Ø
Mengetahui
Falsafah Jawa dan Maknanya
Ø
Mengetahui
kelebihan buku
Ø
Mengetahui
kekurangan buku
Ø
Mengetahui
identitas buku
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Falsafah
Kepemimpinan Soeharto dan Jokowi
Sejak
dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi penduduk
Nusantara maupun penduduk dunia.
Budaya Jawa yang dibawa
pemimpin-pemimpin Jawa memberi
pengaruh yang kuat
pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika”. Kata-kata mutiara yang dirangkai oleh
Mpuh Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa Indonesia.
Sebagai etnik terbesar, Jawa
memiliki Falsafah. Falsafah-falsafah tersebut terbesar dalam bagian dimensi
kehidupan seperti etika dan tata
karma, pergaulan, hubungan
orang tua dan anak, hukum,
keadilan dan kebenaran, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong,
kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan intropeksi dan masih banyak lagi.
Falsafah berikut ini digunakan
oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini, mulai dari Soeharto sampai Jokowi :
a.
Bener
Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara
Falsafah ini bermakna bahwa semua
perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain
pasti akan mendapatkan balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan
menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan. Faktanya, Jokowi sangat dicintai
rakyat Jakarta, sementara Soeharto malah dirindukan oleh rakyat Indonesia yang
dahulu menjelek-jelekkannya.
b.
Kena
Cepet Ning Aja Ndhisiki, Kena Pinter Ning Aja Nguuroni
Falsafah ini akan melatih seorang
calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia
memegang kekuasaan dan didengerkan oleh orang lain.
Walaupun falsafah yang “menghormati
pimpinan” sudah dan banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa, namun kita bisa
melihat bagaimana sikap Soeharto terhadap Soekarno, yakni meski dianggap
bersalah Soekarno tidak lantas diadili oleh pemerintah yang dipimpin Soeharto.
Ini bukan sikap nepotisme, tetapi sikap yang tegas karena kasus yang
didakwakan kepada Soekarno tidak jelas pangkalnya dan tidak jelas ujungnya.
Falsafah ini juga diterapkan oleh
Jokowi ketika menjabat walikota Solo dengan mencium tangan Bibit Waluyo sebagai
Gubernur Jateng. Walaupun secara kualitas kepemimpinan Jokowi lebih hebat
daripada Bibit Waluyo, namun Jokowi tidak sungkan-sungkan melakukan hal
tersebut
c.
Mikul
Dhuwur Mendem Jero
Falsafah ini adalah salah satu
falsafat hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah
kepemimpinan. Falsafah ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat
dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja
ataupun lebih luas lagi.
d.
Ajining
Diri Saka Pucuke Lathi, Ajining Raga Saka Busana
Falsafah ini memiliki arti yaitu harga diri
seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menepatkam diri sesuai dengan
busananya (situasi)
Seorang pemimpin, harus dapat menempatkan
ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi
dirinya.
e.
Aja
Gumunan, Aja Kagetan Lan Aja Dumeh
Filsafah kepemimpinan Jawa juga
mengajarkan agar
pemimpin bersifat tenang dan beribawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu
hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak
boleh sombong. Itulah arti dari filsafat ini.
f.
Kacang
Mangsa Ninggala Lanjar
Falsafah ini menggambarkan bentuk
hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk
adanya kesamaan sikap, sifat, dan bentuk fisik.
Jika para pemimpin jujur maka
masyarakat yang dipimpinnya pun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras
memajukan bangsa, maka masyarakatpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan
hidup mereka.
g.
Ing
Ngarso Sung Tulodho Tur Wuri Handayani
Seorang pemimpin harus bersikap “ing
ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan
bawahannya, juga harus dapat member suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya.
Seorang pemimpin harus juga “tur wuri
handayani”, yaitu member pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang
bawahannya, agar bawahannya tersebut berani tampil dan maju dengan penuh
tanggungjawab. Langkah Jokowi memimpin Jakarta, di mana melakukan tindakan
preventif terhadap masyarakat kecil, blusukan ke kampung-kampung kumuh,
memperhatikan aspirasi rakyat kecil, adalah sikap sesuai dengan falsafat ini.
h.
Addamara
Tanggal Pisan Kapurnaman
Falsafah ini menggambarkan dua orang
yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain kepengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara
ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara
ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan. Akan
tetapi jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian
tersebut ke meja hijau.
i.
Denta
Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra
Falsafah ini menggambarkan hakikat
atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak
dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan.
j.
Wani
Ngalah Luhur Wekasane
Falsafah ini merupakan sebuah anjuran
agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga
tidak timbul konflik.
k.
Aja
Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton
Falsafah ini dipakai untuk memberikan nasehat pada orang-orang
yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih
samar-samar, dan menjelek-jelekan orang lain. Inilah yang dilakukan Jokowi
setiap diwawancarai oleh wartawan. Dia benar-benar memperhatikan apa pertanyaan
wartawan. Tetapi ketika wartawan terlalu banyak pertanyaan, maka Jokowi tidak
mau menjawab pertanyaan tersebut.Jika permasalahan yang ditanyakan itu tidak
diketahui oleh Jokowi, maka beliau tidak mau menjawabnya.
l.
Aja
Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa
pikir panjang dianggap
sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup
membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu.
m.
Curi
Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga
Falsafah ini menggambarkan dari sikap
ideal hubungan pemimpin dengan bawahan, sikap ideal ini ditandai dengan kondisi
dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau
menyantuni mereka dengan baik. Sikap menyantuni rakyat ini ditunjukan oleh
Jokowi dan Soeharto.
n.
Rukun
Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah
Falsafah ini mengisyaratkan bagaimana
sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan
rukun.
o.
Sepi
Ing Pamrih, Rame Ing Gawe
Falsafah ini menyarankan agar orang
Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang jawa harus mengutamakan kerja
keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan
itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik,
semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerja keras kita.
p.
Kebat
Kliwat, Ngangsa Marakaka Brabala
Falsafah ini mengajarkan pemimpin
untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau
mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan
keuntungan.
2.2. Falsafah
Kepemimpinan Soeharto
Soeharto memiliki karakteristik
kepemimpinan yang kuat, di awal kepemimpinannya Soeharto menentukan arah
kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas.
Kekuasaan Soeharto disebut
sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa Jawasentris sangat kuat.
Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleology (tujuan) memang penuh
dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa.
Pada awal masa kekuasaan
Soeharto, karakter kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan
Indonesia di tengah kekacauan politik dan perpecahan. Soeharto juga awalnya
merepresentasikan pemimpin yang bersahaja dan merakyat.
2.3. Falsafah
Kepemimpinan Jokowi
Falsafah Jawa yang dianut Jokowi
salah satunya adalah sugih tanpa bandha.
Sugih itu mempunyai arti kaya,
sedangkan bandha itu berarti harta.
Jika dirangkai maka menjadi kaya tanpa harta, itulah arti harfiah kalimat ini.
Dengan demikian Jokowi dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin yang
sederhana.
Menurut budayawan Kraton Surakarta
KP Winarno, selama Jokowi tidak pernah
membanggakan kekayaannya. Karena Jokowi sadar bahwa hartanya hanya titipan
saja. Jokowi lebih memilih kaya hati daripada kaya duniawi.
· Digdaya Tanpa Aji
Digdaya
memiliki arti sakti, aji berarti
dimaknai azimat. Jika digabungkan adalah sakti tanpa azimat. Menurut KP
Winarnokusumo, kalimat ini mempunyai makna sebuah nasihat untuk semua manusia.
Bahwa kesaktian, kekuatan apapun hanya milik ALLAH SWT.
Falsafah
tersebut juga melekat pada diri Jokowi, sifat yang tegas dan tidak takut pada siapapun. Yang benar akan
dikatakan benar, begitu juga sebaliknya jika salah maka akan dikatakan salah.
· Ngulurug Tanpa Bala
Kalimat ini terdiri dari kata nglurug, yang berarti menyerang tanpa bala artinya tanpa membawa
pasukan. Dalam falsafat Jawa, ngalurug
tanpa bala mempunyai makna bahwa untuk mencapai sesuatu tidak harus dengan
kekuatan yang luar biasa atau dengan kelengkapan fasilitas yang serba cukup
Menurut KP Winarso, Jokowi
menerapkan falsafah tersebut, berbuat sesuai dengan penuh kehati-hatian,
kebijaksanaan serta tidak gegabah.
· Menang Tanpa Ngasorake
Kalimat ini bermakna mencapai
kemenangan tanpa harus merendahkan orang lain. Falsafat ini merupakan ajaran
R.M Pandji Sosrokartono (1877-1952) kakak kandung R.A Kartini. KP Winarno
mencontohkan saat Jokowi berbeda pendapat dengan Gubernur Jateng. Meskipun
dicibir, dimarahi dan dikatai bodoh namun Jokowi tak pernah merasa dendam.
2.4.
Memahami Falsafah Hidup Orang Jawa
Falsafah
ajaran hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama. Tiga aras tersebut, yaitu
aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta, dan aras keberadaan manusia. Di
dalam falsafah ajaran hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan
dalam bahasa Jawa sebagai piwulang
(wewarah) kautaman.
Maka
peranan piwulang kautaman adalah
upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan
kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang
salah dan buruk
Oleh
katena itu. Dalam piwulang kautaman juga
diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor
dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup
cara Jawa. Ada berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama,
dan lainnya.
Sering
terjadi salah mengartikan dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan
orang Jawa sendiri. Contohnya mulat
sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleransi dengan
perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya. Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orang tua
dan pemimpin yang bersalah. Alon-alon
waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.
Makna
dari mulat sarira dan tepa salira adalah
untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa
dalam bergaul dengan orang lain. Dan juga mengajarkan untuk selalu
intropeksi akan diri sendiri.
Miku dhuwur mendhemjero dimaksudkan
untuk selalu menghormat kepada orang tua dan pemimpin, namun tidak membutakan
diri untuk menilai perbuatan orang tua dan pemimpin. Orang tua yang tidak
memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas
lir sepah samun.
Alon-alon watos kelakon,
bukan ajaran untuk bermalah-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu
mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sampai menyadari akan
kapasitas diri..
Landasan
falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi tetap lebih mengutamakan
kebersamaan.
2.5. Falsafah
Jawa dan Maknanya
Falsafah di Jawa sangat banyak dan
beragam dibawah ini ada beberapa falsafah Jawa dan maknanya :
§ Adigang, Adigung,
Adiguna, Adiwicara (menyombongkan Segalanya)
Falsafah Jawa ini dapat diterjemahkan
sebagai mengunggul-unggulkan
atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan ilmu atau
pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.
Falsafah tersebut digunakan untuk
menasehati orang agar tidak menyombongkan apapun yang dimilikinya.
§ Sapa Gawe Bakal Nganggo
(Siapa Membuat Bakal Memakai)
Falsafah ini bermakna bahwa siapapun
yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya, bahwa apapun
yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan bertanggung jawab.
§ Ajining Raga Dumunung
Ana Ing Busana (Harga Diri Terletak pada Pakaian)
Falsafah
ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di
sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh
orang lain.
§ Amemayu Hayuning Buwana
(Mempercantikan Kecantikan Dunia)
Falsafah ini menyarankan agar setiap
insane manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik
atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa
membuat hayu dalam pengertian rahayu atau selamat dan sejahtera.
§ Kaya Kodhok Ketutupan
Bathok (Seperti Katak di Dalam Tempurung)
Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan
katak didalam tempurung tentunya hanyalah dunia didalam tempurung itu. Secara
lias falsafah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi,
pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal.
§ Asu Belang Kalung Wang
(Anjing Belang Berkalung Uang)
Maksud falsafah ini ingin
menggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara sosial tidak
mempunyai peringkat tinggi, tidak berpangkat
atau berjabatan, namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.
Falsafah diatas ingin menggambarkan
orang yang di masyarakat tidak dianggap, manum ia memiliki uang (kekayaan) yang
berlimpah sehingga pada
akhirnya ia juga didatanggi orang, karena yang datang menghendaki uangnya.
§ Gelem Jamure Emoh
Watange (Mau Jamurnya Tidak Mau Bangkainya)
Falsafah tersebut secara luas ingin
menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih
payahnya.
§
Gupak
Pulute Ora Mangan Nangkane (Tidak Makan Nangka tetapi Terkena Getahnya)
Secara luas falsafah Jawa ini ingin
menunjukkan sebuah peristiwa atau kisah yang menggambarkan akan kesialan
seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko
buruknya. Contohnya, ada dua orang pencuri, manum hanya salah satu seorang yang
tertangkap. Orang yang tertangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan
temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya.
§ Ilang-Ilangan Endhog
Siji (Kehilangan Satu Telur)
Falsafah Jawa ini ingin mengayakan
tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang (biasanya orang tua) atas
perilkaku anaknya yang dianggap sudah diluar batas. Contohnya, perilaku seorang
anak yang demikian durhaka, jahat, dan tidak bisa dinasihati lagi. Adapun
nasihat dari siapapun nasihat itu dianngap memang sudah tidak penting lagi.
§ Kethek Saranggon
(Kumpulan Orang Yang Bertindak Jahat)
Orang jahat adalah orang yang
melakukan balas dendam yang tak pernah
habis dan orang yang merebut hak orang lain dengan cara pemaksaan.
Kita harus keluar dari lingkaran laku
jahat, seperti dendam dan rakus. Kita harus memiliki kesadaran diri untuk
menjadi lebih baik.
BAB III
ANALISIS BUKU
3.1. Kelebihan Buku
Kelebihan
buku ini benar-benar dapat menjelaskan falsafah kepemimpinan Soeharto dan
Jokowi dengan jelas dan memberikan contohnya dalam masa kepemimpinannya. Harga
buku ini pun terbilang
murah, dan tidak terlalu tebal untuk dibaca.
3.2. Kekurangan Buku
Masih
banyak pengetikan kata yang salah dan disingkat. Lalu cover buku ini kurang
dapat membuat orang tertarik untuk membacanya.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Falsafah
kepemimpinan Soeharto dan Jokowi menggunakan 16 Falsafah Jawa, yaitu Bener
Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara; Kena Cepet Ning Aja Ndhisiki, Kena Pinter
Ning Aja Nguuroni; Mikul Dhuwur Mendem Jero; Ajining Diri Saka Pucuke Lathi,
Ajining Raga Saka Busana; Aja Gumunan, Aja Kagetan Lan Aja Dumeh; Kacang Mangsa
Ninggala Lanjar; Ing Ngarso Sung Tulodho Tur Wuri Handayani; Addamara Tanggal
Pisan Kapurnaman; Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra; Wani Ngalah Luhur
Wekasane; Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton; Aja Rumangsa Bisa,
Nanging Bisa Rumangsa; Curi Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga; Rukun
Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah; Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe; dan Kebat
Kliwat, Ngangsa Marakaka Brabala.
Kepemimpinan Soeharto disebut
sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa Jawasentris sangat kuat. Karakter
kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah
kekacauan politik dan perpecahan. Soeharto juga awalnya merepresentasikan
pemimpin yang bersahaja dan merakyat.
Dalam
kepemimpinan Jokowi mengunakan 3 filsafah Jawa, yaitu Digdaya Tanpa Aji, Ngulurug
Tanpa Bala, dan Menang Tanpa Ngasorake.
Memahami
filsafah orang Jawa itu penting karena kita sebagai orang Jawa atau mungkin orang
luar Jawa harus memahami agar
kita tidak menyalah artikan filsafah Jawa yang ada.
Banyak
sekali falsafah-falsafah Jawa dan ada beberapa falsafah jawa dan maknanya
yaitu, Adigang, Adigung, Adiguna, Adiwicara (menyombongkan Segalanya); Sapa
Gawe Bakal Nganggo (Siapa Membuat Bakal Memakai); Ajining Raga Dumunung Ana Ing
Busana (Harga Diri Terletak pada Pakaian); Amemayu Hayuning Buwana
(Mempercantikan Kecantikan Dunia); Kaya Kodhok Ketutupan Bathok (Seperti Katak
di Dalam Tempurung); Asu Belang Kalung Wang (Anjing Belang Berkalung Uang); Gelem
Jamure Emoh Watange (Mau Jamurnya Tidak Mau Bangkainya); Gupak Pulute Ora
Mangan Nangkane (Tidak Makan Nangka tetapi Terkena Getahnya); Ilang-Ilangan
Endhog Siji (Kehilangan Satu Telur); dan Kethek Saranggon (Kumpulan Orang Yang
Bertindak Jahat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar