Minggu, 14 Juli 2013

falsafah soeharto jokowi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang
                   Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki falsafah. Falsafah-falsafah tersebut terbesar dalam berbagai kehidupan. Diantara falsafah-falsafah, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Dan memang orang Jawa memiliki kemampuan dalam olah kata atau filsafat.
                        Dalam buku yang ditulis Ki Nardjoko Soeseno yang berjudul “Falsafah Jawa Soeharto dan Jokowi” kita dapat mengetahui dan memahami setiap makna falsafah Jawa maka terlihat jelas bahwa orang Jawa memiliki kemampuan budaya yang sangat tinggi. Soeharto dan Jokowi yang dikenal sebagai pemimpin kharismatis, tak lepas menggunakan falsafah Jawa didalam kepemimpinan mereka.
                        Kita sebagai mahasiswa penerus bangsa dan mungkin penerus dalam mempimpin negara Indoesia, kita dapat mecontoh falsafah-falsafah Jawa terutama falsafah kepemimpinan yang digunakan dalam masa kepemimpinan Soeharto dan Jokowi.

1.2.         Tujuan Masalah
Ø  Mengetahui Kepemimpinan Soeharto dan Jokowi
Ø  Mengetahui Falsafah Kepemimpinan Soeharto
Ø  Mengetahui Falsafah Kepemimpinan Jokowi
Ø  Memahami Falsafah Hidup Orang Jawa
Ø  Mengetahui Falsafah Jawa dan Maknanya
Ø  Mengetahui kelebihan buku
Ø  Mengetahui kekurangan buku
Ø  Mengetahui identitas buku


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Falsafah Kepemimpinan Soeharto dan Jokowi
               Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi penduduk Nusantara maupun penduduk dunia.
               Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika”. Kata-kata mutiara yang dirangkai oleh Mpuh Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa Indonesia.
               Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki Falsafah. Falsafah-falsafah tersebut terbesar dalam bagian dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma, pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan intropeksi dan masih banyak lagi.
               Falsafah berikut ini digunakan oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini, mulai dari Soeharto sampai Jokowi :
a.                       Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara
          Falsafah ini bermakna bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapatkan balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan. Faktanya, Jokowi sangat dicintai rakyat Jakarta, sementara Soeharto malah dirindukan oleh rakyat Indonesia yang dahulu menjelek-jelekkannya.
b.                       Kena Cepet Ning Aja Ndhisiki, Kena Pinter Ning Aja Nguuroni
          Falsafah ini akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengerkan oleh orang lain.
         Walaupun falsafah yang “menghormati pimpinan” sudah dan banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa, namun kita bisa melihat bagaimana sikap Soeharto terhadap Soekarno, yakni meski dianggap bersalah Soekarno tidak lantas diadili oleh pemerintah yang dipimpin Soeharto. Ini bukan sikap nepotisme, tetapi sikap yang tegas karena kasus yang didakwakan kepada Soekarno tidak jelas pangkalnya dan tidak jelas ujungnya.
          Falsafah ini juga diterapkan oleh Jokowi ketika menjabat walikota Solo dengan mencium tangan Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jateng. Walaupun secara kualitas kepemimpinan Jokowi lebih hebat daripada Bibit Waluyo, namun Jokowi tidak sungkan-sungkan melakukan hal tersebut
c.                        Mikul Dhuwur Mendem Jero
          Falsafah ini adalah salah satu falsafat hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah kepemimpinan. Falsafah ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi.
d.                       Ajining Diri Saka Pucuke Lathi, Ajining Raga Saka Busana
     Falsafah ini memiliki arti yaitu harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menepatkam diri sesuai dengan busananya (situasi)
     Seorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya.
e.                        Aja Gumunan, Aja Kagetan Lan Aja Dumeh
          Filsafah kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan beribawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Itulah arti dari filsafat ini.
f.                        Kacang Mangsa Ninggala Lanjar
          Falsafah ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat, dan bentuk fisik.
          Jika para pemimpin jujur maka masyarakat yang dipimpinnya pun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyarakatpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka.

g.                       Ing Ngarso Sung Tulodho Tur Wuri Handayani
          Seorang pemimpin harus bersikap “ing ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat member suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya.
          Seorang pemimpin harus juga “tur wuri handayani”, yaitu member pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahannya tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Langkah Jokowi memimpin Jakarta, di mana melakukan tindakan preventif terhadap masyarakat kecil, blusukan ke kampung-kampung kumuh, memperhatikan aspirasi rakyat kecil, adalah sikap sesuai dengan falsafat ini.
h.                       Addamara Tanggal Pisan Kapurnaman
          Falsafah ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain kepengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan. Akan tetapi jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau.
i. Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra
          Falsafah ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan.
j. Wani Ngalah Luhur Wekasane
          Falsafah ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik.
k.                       Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton
          Falsafah ini dipakai untuk memberikan nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekan orang lain. Inilah yang dilakukan Jokowi setiap diwawancarai oleh wartawan. Dia benar-benar memperhatikan apa pertanyaan wartawan. Tetapi ketika wartawan terlalu banyak pertanyaan, maka Jokowi tidak mau menjawab pertanyaan tersebut.Jika permasalahan yang ditanyakan itu tidak diketahui oleh Jokowi, maka beliau tidak mau menjawabnya.
l. Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
          Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu.
m.                     Curi Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga
          Falsafah ini menggambarkan dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan, sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap menyantuni rakyat ini ditunjukan oleh Jokowi dan Soeharto.
n.                       Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah
          Falsafah ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun.
o.                       Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe
          Falsafah ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerja keras kita.
p.                       Kebat Kliwat, Ngangsa Marakaka Brabala
          Falsafah ini mengajarkan pemimpin untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan.

2.2. Falsafah Kepemimpinan Soeharto
               Soeharto memiliki karakteristik kepemimpinan yang kuat, di awal kepemimpinannya Soeharto menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas.
               Kekuasaan Soeharto disebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa Jawasentris sangat kuat. Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleology (tujuan) memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa.
               Pada awal masa kekuasaan Soeharto, karakter kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah kekacauan politik dan perpecahan. Soeharto juga awalnya merepresentasikan pemimpin yang bersahaja dan merakyat.

2.3. Falsafah Kepemimpinan Jokowi
               Falsafah Jawa yang dianut Jokowi salah satunya adalah sugih tanpa bandha. Sugih itu mempunyai arti kaya, sedangkan bandha itu berarti harta. Jika dirangkai maka menjadi kaya tanpa harta, itulah arti harfiah kalimat ini. Dengan demikian Jokowi dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin yang sederhana.
               Menurut budayawan Kraton Surakarta KP Winarno, selama Jokowi tidak pernah membanggakan kekayaannya. Karena Jokowi sadar bahwa hartanya hanya titipan saja. Jokowi lebih memilih kaya hati daripada kaya duniawi.
·  Digdaya Tanpa Aji
          Digdaya memiliki arti sakti, aji berarti dimaknai azimat. Jika digabungkan adalah sakti tanpa azimat. Menurut KP Winarnokusumo, kalimat ini mempunyai makna sebuah nasihat untuk semua manusia. Bahwa kesaktian, kekuatan apapun hanya milik ALLAH SWT.
          Falsafah tersebut juga melekat pada diri Jokowi, sifat yang tegas dan tidak takut pada siapapun. Yang benar akan dikatakan benar, begitu juga sebaliknya jika salah maka akan dikatakan salah.
·  Ngulurug Tanpa Bala
          Kalimat ini terdiri dari kata nglurug, yang berarti menyerang tanpa bala artinya tanpa membawa pasukan. Dalam falsafat Jawa, ngalurug tanpa bala mempunyai makna bahwa untuk mencapai sesuatu tidak harus dengan kekuatan yang luar biasa atau dengan kelengkapan fasilitas yang serba cukup
                      Menurut KP Winarso, Jokowi menerapkan falsafah tersebut, berbuat sesuai dengan penuh kehati-hatian, kebijaksanaan serta tidak gegabah.
·  Menang Tanpa Ngasorake
          Kalimat ini bermakna mencapai kemenangan tanpa harus merendahkan orang lain. Falsafat ini merupakan ajaran R.M Pandji Sosrokartono (1877-1952) kakak kandung R.A Kartini. KP Winarno mencontohkan saat Jokowi berbeda pendapat dengan Gubernur Jateng. Meskipun dicibir, dimarahi dan dikatai bodoh namun Jokowi tak pernah merasa dendam.

2.4. Memahami Falsafah Hidup Orang Jawa
Falsafah ajaran hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama. Tiga aras tersebut, yaitu aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta, dan aras keberadaan manusia. Di dalam falsafah ajaran hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
               Maka peranan piwulang kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk
               Oleh katena itu. Dalam piwulang kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dan lainnya.
               Sering terjadi salah mengartikan dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri. Contohnya mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleransi dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya. Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orang tua dan pemimpin yang bersalah. Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.
               Makna dari mulat sarira dan tepa salira adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain. Dan juga mengajarkan untuk selalu intropeksi akan diri sendiri.
               Miku dhuwur mendhemjero dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orang tua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orang tua dan pemimpin. Orang tua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun.
               Alon-alon watos kelakon, bukan ajaran untuk bermalah-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sampai menyadari akan kapasitas diri..
               Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi tetap lebih mengutamakan kebersamaan.

2.5. Falsafah Jawa dan Maknanya
              Falsafah di Jawa sangat banyak dan beragam dibawah ini ada beberapa falsafah Jawa dan maknanya :
§ Adigang, Adigung, Adiguna, Adiwicara (menyombongkan Segalanya)
          Falsafah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.
          Falsafah tersebut digunakan untuk menasehati orang agar tidak menyombongkan apapun yang dimilikinya.
§  Sapa Gawe Bakal Nganggo (Siapa Membuat Bakal Memakai)
          Falsafah ini bermakna bahwa siapapun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya, bahwa apapun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan bertanggung jawab.
§  Ajining Raga Dumunung Ana Ing Busana (Harga Diri Terletak pada Pakaian)
                      Falsafah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.
§  Amemayu Hayuning Buwana (Mempercantikan Kecantikan Dunia)
          Falsafah ini menyarankan agar setiap insane manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu atau selamat dan sejahtera.
§  Kaya Kodhok Ketutupan Bathok (Seperti Katak di Dalam Tempurung)
          Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak didalam tempurung tentunya hanyalah dunia didalam tempurung itu. Secara lias falsafah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal.
§  Asu Belang Kalung Wang (Anjing Belang Berkalung Uang)
          Maksud falsafah ini ingin menggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara sosial tidak mempunyai peringkat tinggi, tidak berpangkat atau berjabatan, namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.
          Falsafah diatas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, manum ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatanggi orang, karena yang datang menghendaki uangnya.
§  Gelem Jamure Emoh Watange (Mau Jamurnya Tidak Mau Bangkainya)
          Falsafah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya.
§   Gupak Pulute Ora Mangan Nangkane (Tidak Makan Nangka tetapi Terkena Getahnya)
          Secara luas falsafah Jawa ini ingin menunjukkan sebuah peristiwa atau kisah yang menggambarkan akan kesialan seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko buruknya. Contohnya, ada dua orang pencuri, manum hanya salah satu seorang yang tertangkap. Orang yang tertangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya.
§  Ilang-Ilangan Endhog Siji (Kehilangan Satu Telur)
          Falsafah Jawa ini ingin mengayakan tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang (biasanya orang tua) atas perilkaku anaknya yang dianggap sudah diluar batas. Contohnya, perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, dan tidak bisa dinasihati lagi. Adapun nasihat dari siapapun nasihat itu dianngap memang sudah tidak penting lagi.
§  Kethek Saranggon (Kumpulan Orang Yang Bertindak Jahat)
          Orang jahat adalah orang yang melakukan balas dendam yang tak pernah habis dan orang yang merebut hak orang lain dengan cara pemaksaan.
          Kita harus keluar dari lingkaran laku jahat, seperti dendam dan rakus. Kita harus memiliki kesadaran diri untuk menjadi lebih baik.

















BAB III
ANALISIS BUKU

3.1. Kelebihan Buku
            Kelebihan buku ini benar-benar dapat menjelaskan falsafah kepemimpinan Soeharto dan Jokowi dengan jelas dan memberikan contohnya dalam masa kepemimpinannya. Harga buku ini pun terbilang murah, dan tidak terlalu tebal untuk dibaca.

3.2. Kekurangan Buku
               Masih banyak pengetikan kata yang salah dan disingkat. Lalu cover buku ini kurang dapat membuat orang tertarik untuk membacanya.












BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
            Falsafah kepemimpinan Soeharto dan Jokowi menggunakan 16 Falsafah Jawa, yaitu Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara; Kena Cepet Ning Aja Ndhisiki, Kena Pinter Ning Aja Nguuroni; Mikul Dhuwur Mendem Jero; Ajining Diri Saka Pucuke Lathi, Ajining Raga Saka Busana; Aja Gumunan, Aja Kagetan Lan Aja Dumeh; Kacang Mangsa Ninggala Lanjar; Ing Ngarso Sung Tulodho Tur Wuri Handayani; Addamara Tanggal Pisan Kapurnaman; Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra; Wani Ngalah Luhur Wekasane; Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton; Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa; Curi Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga; Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah; Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe; dan Kebat Kliwat, Ngangsa Marakaka Brabala.
               Kepemimpinan Soeharto disebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa Jawasentris sangat kuat. Karakter kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah kekacauan politik dan perpecahan. Soeharto juga awalnya merepresentasikan pemimpin yang bersahaja dan merakyat.
            Dalam kepemimpinan Jokowi mengunakan 3 filsafah Jawa, yaitu Digdaya Tanpa Aji, Ngulurug Tanpa Bala, dan Menang Tanpa Ngasorake.
               Memahami filsafah orang Jawa itu penting karena kita sebagai orang Jawa atau mungkin orang luar Jawa harus memahami agar kita tidak menyalah artikan filsafah Jawa yang ada.
               Banyak sekali falsafah-falsafah Jawa dan ada beberapa falsafah jawa dan maknanya yaitu, Adigang, Adigung, Adiguna, Adiwicara (menyombongkan Segalanya); Sapa Gawe Bakal Nganggo (Siapa Membuat Bakal Memakai); Ajining Raga Dumunung Ana Ing Busana (Harga Diri Terletak pada Pakaian); Amemayu Hayuning Buwana (Mempercantikan Kecantikan Dunia); Kaya Kodhok Ketutupan Bathok (Seperti Katak di Dalam Tempurung); Asu Belang Kalung Wang (Anjing Belang Berkalung Uang); Gelem Jamure Emoh Watange (Mau Jamurnya Tidak Mau Bangkainya); Gupak Pulute Ora Mangan Nangkane (Tidak Makan Nangka tetapi Terkena Getahnya); Ilang-Ilangan Endhog Siji (Kehilangan Satu Telur); dan Kethek Saranggon (Kumpulan Orang Yang Bertindak Jahat).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar